Ketika saya melihat anak saya tengah belajar dan membaca buku-buku pelajaran kelas 5 Sekolah Dasar (1 mata pelajaran 2 paket), saya jadi tertegun. Lebih tertegun lagi manakala, saya mencoba membuka buku paket mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam.
Pada bab pelajaran yang menyangkut organ tubuh manusia (biologi), dipaparkan macam-macam persendian, tulang dsb, aliran darah dan banyak sekali. Kemudian saya melihat anak saya yang tengah mencoba menghafalkan macam-macam persendian, macam-macam tulang dan fungsi organ. Saya lihat, dia agak payah menghafalkan sebanyak itu.
Saya jadi teringat bahwa pelajaran dan hafalan sebanyak itu, sewaktu saya sekolah dulu baru diberikan ke tingkat lanjutan pertama, belum diberikan anak sekolah dasar. Sekarang ini, anak sekolah dasar sudah harus menelan yang seharusnya belum bisa ditelan hafalan sebanyak itu. Namun nampaknya pemerintah telah memaksakan, agar secara dini anak harus bisa menyimpan hafalan sebanyak itu, meski harus kepayahan.
Saya jadi bertanya, bukankah pemerintah memiliki perangkat komplit, diantara para psikolog anak dalam menyusun kurikulum pendidikan yang sangat tahu persis kapasitas memori anak sekolah dasar ? Lantas sesungguhnya, apa tujuan pendidikan kita hanya sebatas mencetak anak pandai dengan nilai sangat tinggi untuk mengejar ketertinggalan teknologi dengan negara lain ?
Ataukah tujuan pendidikan kita ini mencetak anak yang cerdas. yang berbudi dan berakhlah baik, supaya kelak tahu persis mana yang baik dan buruk manakala dia telah mendapatkan amanah dalam pekerjaannya supaya tidak menjadi orang yang suka melakukan penipuan dan penggelapan, penyuapan dan selalu berkata jujur dan benar ?
Ujian Nasional yang selama ini dijadikan acuan kelulusan siswa hanya berupa angka-angka formal dalam perangkat pikiran dan hafalan seorang siswa. Nilai ujian nasional bukan barometer bagi pendidikan akhlak anak sekolah, padahal sesungguhnya keselamatan bangsa dan negara tidak disebabkan oleh kecerdasan otak namun juga akhlak pemimpin dan masyarakatnya.
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni'matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (AL QASHASH (CERITA) ayat 77)."
Sekolah Sore Madrasah Yang tergencet
Mengingat tuntutan materi pelajaran yang berjejalan yang harus masuk ke memori anak didik, para guru sebagai penanggung jawab utama pendidikan siswanya kalang kabut. Dari pihak sekolah, ada tuntutan persaingan prosentase tingkat kelulusan supaya sekolah naik perangkat atau masuk kategori sekolah favorit dengan prosentase lulusan terbanyak, maka sekolah dan para gurunya membuka les atau memberikan materi pelajaran di luar waktu sekolah.
Dengan les, anak terus diguyur materi-materi pokok dan penting supaya nantinya berhasil melewati angka minimal kelulusan nasional dan masuk dengan mudah ke jenjang berikutnya. Tenaga para gurupun terforsir. Pagi sampai siang mengajar, siang hingga sore memberikan les dan malamnya masih sibuk dengan catatan-catatan tugas.
Di lain pihak, sekolah sore keagamaan yang di kampung lebih populer dengan sebutan sekolah madrasah sore, makin tergerus keberadaan, sebab anak-anak sudah kehabisan waktu untuk sekolah formalnya. Padahal pendidikan keagamaan atau pendidikan agama adalah soko guru berdiri tegaknya republik ini ( Sila Pertama Pancasila dan Pembukaan UUD'45).
Sedangkan malam harinya, anak-anak masih dituntut belajar atau mengerjakan Pekerjaan Rumah (yang dibebankan para guru supaya menambah perbendaraan materi dan mengingatkan materi siang). Akhirnya, anak-anak tidak ada waktu untuk malam hari belajar mengaji kitab suci Al-Qur'an.
Inilah gambaran yang menakutkan dari kurikulum pendidikan kita sekarang ini.
Sekolah Sore Madrasah Yang tergencet
Mengingat tuntutan materi pelajaran yang berjejalan yang harus masuk ke memori anak didik, para guru sebagai penanggung jawab utama pendidikan siswanya kalang kabut. Dari pihak sekolah, ada tuntutan persaingan prosentase tingkat kelulusan supaya sekolah naik perangkat atau masuk kategori sekolah favorit dengan prosentase lulusan terbanyak, maka sekolah dan para gurunya membuka les atau memberikan materi pelajaran di luar waktu sekolah.
Dengan les, anak terus diguyur materi-materi pokok dan penting supaya nantinya berhasil melewati angka minimal kelulusan nasional dan masuk dengan mudah ke jenjang berikutnya. Tenaga para gurupun terforsir. Pagi sampai siang mengajar, siang hingga sore memberikan les dan malamnya masih sibuk dengan catatan-catatan tugas.
Di lain pihak, sekolah sore keagamaan yang di kampung lebih populer dengan sebutan sekolah madrasah sore, makin tergerus keberadaan, sebab anak-anak sudah kehabisan waktu untuk sekolah formalnya. Padahal pendidikan keagamaan atau pendidikan agama adalah soko guru berdiri tegaknya republik ini ( Sila Pertama Pancasila dan Pembukaan UUD'45).
Sedangkan malam harinya, anak-anak masih dituntut belajar atau mengerjakan Pekerjaan Rumah (yang dibebankan para guru supaya menambah perbendaraan materi dan mengingatkan materi siang). Akhirnya, anak-anak tidak ada waktu untuk malam hari belajar mengaji kitab suci Al-Qur'an.
Inilah gambaran yang menakutkan dari kurikulum pendidikan kita sekarang ini.