Manunggaling Kawula-Gusti. Ini sebuah ajaran dari syeh Siti Jenar yang jadi melegenda. Suatu konsep (kalau boleh saya menyebutnya begitu) yang saat itu sangat aneh sekaligus membahayakan bagi masyarakat yang baru saya tersadar dari kegelapan dan menemukan cahaya terang dalam Islam. Konsep yang seharusnya di setujui oleh mahkamah para wali (?) di kerajaan Demak Bintoro, sebagai konsep yang benar dalam syiar Islam justru mendapatkan pertentangan hebat sampai akhirnya ditebus ajal sang syeh.
Syeh Siti Jenar atau syeh Lemah Abang, banyak orang bingung asal usulnya, bahkan ada yang bilang itu hanya cerita-cerita legenda bikinan orang dahulu. Dia sosok yang lugas, sakti, katanya juga tokoh makrifat yang ilmunya hanya bisa disamai oleh Sunan Kalijaga, aneh, nyentrik yang berbeda dengan para wali kala itu. Yang lebih aneh, ada cerita bahwa dia sangat paham dengan wejangan Sunan Bonang pada Sunan Kalijaga di atas sebuah perahu.
Orang tidak tahu, siapa gurunya dan darimana dia peroleh ilmu tauhid yang sangat tinggi tingkatannya itu. Juga di mana dia berguru, tidak banyak orang tahu. Orang hanya tahu bahwa konsep ketauhidan syeh Siti Jenar mirip dengan konsep yang di bawa oleh ibnu Mansyur al-hallaj (tokoh yang wataknya hampir sama dengan syeh Siti Jenar) yang kala itu juga didakwa sesat.
Mari kita dengan pelan-pelan mengurai apa yang dimaksud dengan Manunggaling kawula-Gusti, supaya tidak salah persepsi dan memperumit masalah.
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. ( Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberikan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi maha Melihat " (8:17 : Al Anfaal, ayat 17 )
Ayat ini menegaskan peranan dominan dari Allah atas semua sebab dan musabab dari kekuasaan dan pertolongan. Bahwa manusia (makhluk) sudah semestinya menyadari bahwa semua kekuasaan ada pada Allah. Bahwa apa saja yang terjadi dan yang akan terjadi dalam "genggaman" Allah yang kesemua peristiwa telah termaktub dalam kitab Lauh Mahfud. Lauh Mahfud adalah kitab takdir, sehingga tak ada satu peristiwapun yang meleset dari apa yang dikandung didalamnya.
Manusia berada dalam lingkaran dan naungan takdir, sementara dalam tatanan atau Rukun Iman, manusia wajib mempercayai/beriman akan takdir Allah. Manusia (dan makhluk) tidak bisa lepas dari semua ketentuan takdir yang berlaku padanya.
Pada tingkatan spiritual yang tinggi, semua ketentuan Allah (takdir), "kehendak"-NYA, semua peristiwa dan kejadian yang menimpa dirinya (kemalangan, kemiskinan, fitnah, senang,susah, bahagia dan sedih di mata manusia awam) adalah terbaik baginya yang dipilihkan Allah untuknya. Dia selalu dalam keadaan terjaga untuk mengingat keberadaan Allah dan terjaga untuk selalu berprasangka baik.
Kepercayaan dirinya untuk selalu berprasangka baik didasari oleh tingkat ketakwaan, kepasrahan, kesabaran dan keikhlasan yang di atas rata-rata orang kebayakan.
"Kami berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati". (AL BAQARAH (Sapi betina) ayat 38)
"(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (AL BAQARAH (Sapi betina) ayat 112)"
Jadi sesungguhnya, apa yang disebut manunggaling kawula-Gusti tak lain adalah keikhlasan yang dilandasi ketakwaan untuk selalu mengikuti apa yang menjadi kehendak-NYA dengan kepercayaan sepenuh hati bahwa itu adalah yang terbaik baginya yang dipilihkan Allah untuknya. Dengan ketakwaannya, dia selalu berprasangka baik pada Allah dan menerima setiap keputusan-NYA.
Manunggaling kawula-Gusti bukanlah perpaduan wadag namun leburnya kehendak hati dalam pusaran kekuasaan dan kehendak Allah dengan penerimaan tingkat keikhlasan yang paripurna, yang pada gilirannya sampai pada derajad syukur (derajad tertinggi, sebab Rasulullah manakala di tanya sahabat kenapa kaki bengkak-bengkak dalam beribadah, beliau menjawab bahwa semua ibadahnya adalah tanda syukur pada Allah)
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. ( Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberikan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi maha Melihat " (8:17 : Al Anfaal, ayat 17 )
Ayat ini menegaskan peranan dominan dari Allah atas semua sebab dan musabab dari kekuasaan dan pertolongan. Bahwa manusia (makhluk) sudah semestinya menyadari bahwa semua kekuasaan ada pada Allah. Bahwa apa saja yang terjadi dan yang akan terjadi dalam "genggaman" Allah yang kesemua peristiwa telah termaktub dalam kitab Lauh Mahfud. Lauh Mahfud adalah kitab takdir, sehingga tak ada satu peristiwapun yang meleset dari apa yang dikandung didalamnya.
Manusia berada dalam lingkaran dan naungan takdir, sementara dalam tatanan atau Rukun Iman, manusia wajib mempercayai/beriman akan takdir Allah. Manusia (dan makhluk) tidak bisa lepas dari semua ketentuan takdir yang berlaku padanya.
Pada tingkatan spiritual yang tinggi, semua ketentuan Allah (takdir), "kehendak"-NYA, semua peristiwa dan kejadian yang menimpa dirinya (kemalangan, kemiskinan, fitnah, senang,susah, bahagia dan sedih di mata manusia awam) adalah terbaik baginya yang dipilihkan Allah untuknya. Dia selalu dalam keadaan terjaga untuk mengingat keberadaan Allah dan terjaga untuk selalu berprasangka baik.
Kepercayaan dirinya untuk selalu berprasangka baik didasari oleh tingkat ketakwaan, kepasrahan, kesabaran dan keikhlasan yang di atas rata-rata orang kebayakan.
"Kami berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati". (AL BAQARAH (Sapi betina) ayat 38)
"(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (AL BAQARAH (Sapi betina) ayat 112)"
Jadi sesungguhnya, apa yang disebut manunggaling kawula-Gusti tak lain adalah keikhlasan yang dilandasi ketakwaan untuk selalu mengikuti apa yang menjadi kehendak-NYA dengan kepercayaan sepenuh hati bahwa itu adalah yang terbaik baginya yang dipilihkan Allah untuknya. Dengan ketakwaannya, dia selalu berprasangka baik pada Allah dan menerima setiap keputusan-NYA.
Manunggaling kawula-Gusti bukanlah perpaduan wadag namun leburnya kehendak hati dalam pusaran kekuasaan dan kehendak Allah dengan penerimaan tingkat keikhlasan yang paripurna, yang pada gilirannya sampai pada derajad syukur (derajad tertinggi, sebab Rasulullah manakala di tanya sahabat kenapa kaki bengkak-bengkak dalam beribadah, beliau menjawab bahwa semua ibadahnya adalah tanda syukur pada Allah)